Merampas hak seseorang dengan dalih kesucian dan moralitas sebenarnya bukan hal yang baru di negeri ini. Waktu kasus video mesum Aril-Luna merebak, tak sedikit dari mereka yang mengaku-ngaku pejuang moralitas berteriak lantang. Mereka merasa mendapatkan alasan pembenar untuk “menghukum” para pelaku serta menggeneralisasikan setiap kasus asusila. Bahkan hebatnya, video tersebut dituding sebagai penyebab meningkatnya kasus pemerkosaan.
Dengan bertindak demikian, sepertinya semua persoalan sudah terselesaikan. Tidak perlu lagi susah payah mengexplore beratnya himpitan ekonomi sosial para “pendosa” tersebut. Semua kesalahan langsung ditimpakan kepada kedua sejoli yang kebetulan mengabadikan hubungan mesum mereka. Gampang kan?
Kompleksitas masalah membutuhkan analisa yang mendalam pula. Bukan hanya saling menimpakan kesalahan lantas semua persoalan selesai. Apalagi jika menyangkut wilayah privat seseorang. Jika semua siswi yang hendak melanjutkan studi bukan perawan lagi, apakah kita dengan serta merta menuding mereka semua bejat dan nista?
Dalam kasus ini, pihak perempuanlah yang selalu menjadi korban. Mereka diperhadapkan pada situasi serba menuntut. Jika salah satu faktor tidak terpenuhi maka mereka dicap abnormal dan tidak layak diterima lagi dalam kehidupan sosial.
Tak heran jika sekarang kita melihat kuatnya hasrat publik menentang ide tersebut. Hak warga untuk melindungi wilayah privacy mereka dan itu dijamin oleh undang-undang. Terlepas dari latar belakang munculnya ide tersebut.
Pengusung moralitas yang sok suci hendaknya berkaca diri dulu. Masih banyak persoalan bangsa yang harus segera diselesaikan dan bukan terpaku pada urusan perawan atau perjaka tulen.
Sumber : http://qflee.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar